Merdeka -sebagaimana disampaikan oleh para pendiri bangsa kita- bukanlah tujuan melainkan jembatan. Merdeka adalah gerbang.
Gerbang yang mengantar pada apa yang kita namai dengan kesejahteraan, kebahagiaan, dan keadilan di seluruh dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kesejahteraan sosial takkan mungkin dicapai tanpa keadilan sosial.
Keadilan sosial pun memiliki sejumlah asas. Diantaranya yang terpenting adalah kebebasan dan kemerdekaan jiwa manusia.
Mengenai hal ini, Sayyid Quthb panjang lebar menjelaskannya dalam buku al-‘Adallah al-Ijtimaiyyah fil-Islam yang telah diterjemahkan dalam buku “Keadilan Sosial Dalam Islam” mulai pada halaman 41-79 yang dapat kita petik intisarinya.
Intinya bahwa perjuangan Islam untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan dimulai dari pembebasan jiwa atas penghambaan manusia terhadap manusia lainnya menuju pada penghambaan yang total kepada Allah SWT.
Membebaskan manusia untuk hanya menjadi hamba Allah semata. Dan ini adalah prasyarat untuk mendapatkan apa yang kita namai kesejahteraan.
Merdeka dari Kekikiran dan Kefakiran
Dalam kitab klasik “Durro-tun Nasihin” (Mutiara Nasihat) yang ditulis oleh Syekh Utsman bin Hasan bin Ahmad asy-Syakir al-Khaubury, halaman 17 dijelaskan bahwasannya bangsa, sebuah negeri, dan peradaban umat manusia di dunia ini akan tegak dan kuat, serta abadi, manakala di dalamnya ditopang dengan empat pilar, yang satu sama lainnya saling menguatkan.
Pertama, ilmunya para Ulama (bi ‘ilmil ulama’). Kedua, adilnya para penguasa (bi ‘adlil umaro).
Ketiga, dermawannya kaum aghniya (bi sakhowatil aghniya’). Keempat, doanya kaum dhu'afa (bi da'watil fuqoro).
Jika ditelisik lebih dalam sesungguhnya, dua dari empat pilar yang mampu mengokohkan eksistensi suatu bangsa dalam kancah peradaban adalah berkaitan erat dengan tugas dan fungsi amil zakat. Khususnya dalam hal menyeru dan mengajak orang-rang kaya di negeri ini untuk menunaikan zakat, infak, dan sedekahnya sebagai implementasi kewajiban dan kedermawanannya.
Landasan untuk menumbuh-suburkan kedermawanan tersebut tentunya berbekal spirit “kayla yakuuna du latan bainal aghniyaa-i minkum”, agar harta kekayaan itu tidak hanya berputar-putar diantara orang kaya saja di antara kita.
Lebih jauh, tugas amil zakat yang menyeru bahkan memaksa orang-orang kaya untuk mengeluarkan zakatnya adalah dalam rangka memerdekaan orang kaya tersebut dari kemusyrikan, yakni membebaskan mereka dalam penghambaan dan menuhankan harta bendanya sendiri. Sebagaimana termaktub dalam surah Fushshilat ayat 6-7:
"...dan kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang mempersekutukan-Nya. Yaitu orang-orang yang tidak menunaikan zakat dan mereka kafir akan adanya (kehidupan) akhirat”
Dalam spektrum penyaluran dana, amil zakat, memiiki peran untuk memuliakan dan memberdayakan dhu’afa. Meminjam istilah Prof Nassarudin Umar adalah sebagai sahabat spiritual mustahik.
Yang tidak hanya sekedar memungut, mencatat, menyalurkan, akan tetapi juga mendakwahkan zakat di muka bumi ini. Di sinilah Amil zakat berperan untuk memerdekakan mustahik dari belitan kesulitan dan kefakiran.
Dari penjelasan di atas, kita memahami bahwa kerja amil zakat adalah kerja untuk menegakkan pilar-pilar yang mengokohkan sendi bernegara dan berbangsa. Di dalamnya terkandung cita-cita besar tentang kerja peradaban yang panjang dan hanya sanggup disusuri oleh para pejuang.
Tulisan: Farid Septian (Amil Baznas RI)